SEMARANG – Ratusan orang mengikuti prosesi adat Nyadran Kali di Desa
Wisata Kandri, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang kemarin. Mereka
membawa beberapa sesaji, seperti gong, kepala kerbau, sego golong,
jaddah, dan sego guo yang diarak menuju sebuah mata air bernama Sendang
Gede.
Acara tersebut merupakan acara tahunan yang dilakukan warga Desa Kandri dalam rangka memelihara ketersediaan air dan puji syukur kepada Tuhan. Prosesi adat diawali dengan membersihkan sendang, mengarak sesaji, meletakkan sesaji ke sendang dan diakhiri dengan makan bersama.
Lurah Desa Kandri, Akhyat mengatakan, acara Nyadran Kali merupakan kegiatan masyarakat Desa Kandri untuk melestarikan kebudayaan warisan nenek moyang. Acara tahunan ini digelar setiap Kamis Kliwon di bulan Jumadil Akhir. “Selain melestarikan budaya leluhur, acara ini merupakan wujud syukur kami kepada Tuhan karena desa kami tidak pernah kekurangan air.” “Kami menganggap sendang memiliki peranan penting sebagai sumber penghidupan masyarakat. Untuk itu, harus dibersihkan dan diuri-uri,” katanya.
Menurut Akhyat, tahun ini ada perbedaan dalam prosesi Nyadran Kali. Jika biasanya hanya dilakukan dengan membersihkan sendang dan selametan, maka kali ini upacara dikemas dalam sebuah prosesi adat dengan berbagai pertunjukan yang lebih menarik, yakni kesenian tradisional Ketoprak Trutug, tari tradisional Matirto Suci dan Rebana Kempling.
“Karena Kandri telah menjadi desa wisata, maka kami mengemas prosesi adat Nyadran Kali menjadi sebagus mungkin. Kami berharap akan banyak turis baik lokal maupun mancanegara berkunjung ke desa kami karena tertarik dengan prosesi adat ini,” ucapnya.
Selain membawa sesaji, warga Desa Kandri, terutama ibu-ibu, datang ke sendang dengan membawa makanan dari rumah masing-masing. Mereka menggelar daun pisang di sepanjang jalan menuju sendang dan meletakkan makanan di atas daun tersebut.
“Ini adalah bentuk kebersamaan kami, adat ini sudah berlangsung sejak lama. Ibu-ibu membawa makanan untuk suaminya yang sedang gotong royong membersihkan sendang. Makanan kemudian ditaruh di atas daun pisang dan dimakan bersama-sama,” kata Masduki, ketua panitia Nyadran Kali.
Sementara itu, Supriyadi, juru kunci Sendang Gede, menceritakan asal-muasal prosesi adat Nyadran Kali. Menurutnya, konon sendang di Desa Kandri memiliki mata air yang sangat besar. Masyarakat khawatir, air yang keluar dari sendang akan membanjiri desa. Akhirnya masyarakat berinisiatif untuk menutup mata air dengan gong, jaddah dan kepala kerbau.
“Untuk itulah setiap tahun kami membawa gong, jaddah dan kepala kerbau diarak menuju sendang tidak lain untuk mengenang peristiwa tersebut sebagai bentuk kepedulian masyarakat dalam melestarikan budaya leluhur,” kata Supriyadi. andika prabowo
Acara tersebut merupakan acara tahunan yang dilakukan warga Desa Kandri dalam rangka memelihara ketersediaan air dan puji syukur kepada Tuhan. Prosesi adat diawali dengan membersihkan sendang, mengarak sesaji, meletakkan sesaji ke sendang dan diakhiri dengan makan bersama.
Lurah Desa Kandri, Akhyat mengatakan, acara Nyadran Kali merupakan kegiatan masyarakat Desa Kandri untuk melestarikan kebudayaan warisan nenek moyang. Acara tahunan ini digelar setiap Kamis Kliwon di bulan Jumadil Akhir. “Selain melestarikan budaya leluhur, acara ini merupakan wujud syukur kami kepada Tuhan karena desa kami tidak pernah kekurangan air.” “Kami menganggap sendang memiliki peranan penting sebagai sumber penghidupan masyarakat. Untuk itu, harus dibersihkan dan diuri-uri,” katanya.
Menurut Akhyat, tahun ini ada perbedaan dalam prosesi Nyadran Kali. Jika biasanya hanya dilakukan dengan membersihkan sendang dan selametan, maka kali ini upacara dikemas dalam sebuah prosesi adat dengan berbagai pertunjukan yang lebih menarik, yakni kesenian tradisional Ketoprak Trutug, tari tradisional Matirto Suci dan Rebana Kempling.
“Karena Kandri telah menjadi desa wisata, maka kami mengemas prosesi adat Nyadran Kali menjadi sebagus mungkin. Kami berharap akan banyak turis baik lokal maupun mancanegara berkunjung ke desa kami karena tertarik dengan prosesi adat ini,” ucapnya.
Selain membawa sesaji, warga Desa Kandri, terutama ibu-ibu, datang ke sendang dengan membawa makanan dari rumah masing-masing. Mereka menggelar daun pisang di sepanjang jalan menuju sendang dan meletakkan makanan di atas daun tersebut.
“Ini adalah bentuk kebersamaan kami, adat ini sudah berlangsung sejak lama. Ibu-ibu membawa makanan untuk suaminya yang sedang gotong royong membersihkan sendang. Makanan kemudian ditaruh di atas daun pisang dan dimakan bersama-sama,” kata Masduki, ketua panitia Nyadran Kali.
Sementara itu, Supriyadi, juru kunci Sendang Gede, menceritakan asal-muasal prosesi adat Nyadran Kali. Menurutnya, konon sendang di Desa Kandri memiliki mata air yang sangat besar. Masyarakat khawatir, air yang keluar dari sendang akan membanjiri desa. Akhirnya masyarakat berinisiatif untuk menutup mata air dengan gong, jaddah dan kepala kerbau.
“Untuk itulah setiap tahun kami membawa gong, jaddah dan kepala kerbau diarak menuju sendang tidak lain untuk mengenang peristiwa tersebut sebagai bentuk kepedulian masyarakat dalam melestarikan budaya leluhur,” kata Supriyadi. andika prabowo
No comments:
Post a Comment